
Program 3 Juta Rumah: Kebijakan Ambisius Dan Realitas Infornal Pemerintah Republik Indonesia menetapkan target pembangunan perumahan yang sangat ambisius, yakni merealisasikan tiga juta unit rumah setiap tahunnya sebagai bagian dari upaya strategis untuk mengatasi defisit kepemilikan hunian (backlog) yang hingga saat ini masih tinggi.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2023, backlog perumahan nasional mencapai angka 9,9 juta unit, sebuah jumlah yang mencerminkan urgensi kebijakan sektoral di bidang permukiman.
Namun, di tengah semangat tinggi dari sisi perencanaan, terdapat realitas anggaran dan tantangan struktural yang dapat menjadi hambatan serius dalam implementasi program tersebut.
Pada tahun anggaran 2025, anggaran yang dialokasikan untuk Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) justru mengalami efisiensi yang signifikan, yakni hanya sebesar Rp 3,6 triliun. Jumlah ini dinilai tidak proporsional dengan kompleksitas dan besarnya skala target pembangunan yang diemban.
Program 3 Juta Rumah: Kebijakan Ambisius
Pengamat sekaligus pelaku industri properti nasional, Marine Novita, yang menjabat sebagai Co-Founder & President Director MilikiRumah.com serta aktif dalam Bidang Strategi, Riset, dan Pengembangan di DPP Real Estate Indonesia (REI), menyatakan bahwa capaian pembangunan tidak hanya ditentukan oleh angka anggaran atau ketersediaan lahan semata, tetapi juga oleh bagaimana kebijakan tersebut menyentuh akar permasalahan utama, yakni ketimpangan akses terhadap pembiayaan, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan tidak tetap.
Salah satu isu mendasar yang perlu mendapat perhatian khusus adalah keterbatasan akses masyarakat sektor informal terhadap fasilitas pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen tenaga kerja Indonesia merupakan pekerja sektor informal, termasuk di dalamnya buruh harian, pelaku usaha mikro dan kecil, serta pekerja lepas (freelancer).
Kelompok ini menghadapi kendala besar dalam mengakses pembiayaan perumahan karena tidak memenuhi kriteria administratif perbankan yang mengharuskan pendapatan tetap dan bukti penghasilan formal.
Di sisi lain, sistem penilaian risiko kredit yang diberlakukan perbankan masih mengadopsi pendekatan konvensional yang dinilai kurang adaptif terhadap karakteristik penghasilan masyarakat informal.
Saat ini, penghasilan dari pengusaha mikro hanya dihitung 30-40 persen dari total pendapatan tercatat dalam pembukuan sebagai dasar kelayakan KPR, sementara pekerja formal dapat dipertimbangkan hingga 50-70 persen. Perbedaan ini memperlebar kesenjangan antar kelompok, dan semakin meminggirkan kelompok masyarakat yang justru memiliki kebutuhan mendesak akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau.
Marine Novita menegaskan bahwa ketimpangan perlakuan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah jika ingin mencapai target tiga juta rumah per tahun secara inklusif dan berkeadilan. “Sektor informal bukan hanya penyumbang signifikan dalam perekonomian nasional, tetapi juga kelompok yang selama ini paling rentan terhadap eksklusi akses keuangan,” ujarnya dalam forum diskusi perumahan nasional.
Potret Penurunan Kelas Menengah dan Kerentanan Finansial
Situasi semakin kompleks ketika dikaitkan dengan tren penurunan jumlah populasi kelas menengah di Indonesia. Data BPS mencatat bahwa pada tahun 2019, jumlah masyarakat yang tergolong kelas menengah mencapai 57,33 juta jiwa, atau setara dengan 21,45 persen dari total penduduk.
Namun, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, angka tersebut terus mengalami penurunan. Pada tahun 2024, jumlahnya menyusut menjadi 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi nasional.
Penurunan ini mengindikasikan menurunnya daya beli masyarakat dan bertambahnya tekanan ekonomi terhadap rumah tangga, terutama dari kalangan pekerja informal yang tidak memiliki jaring pengaman sosial yang memadai.
Lebih lanjut, laporan dari lembaga pemeringkat Pefindo menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 14 juta penduduk Indonesia yang terjerat utang dari pinjaman online (pinjol), dengan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) mencapai 5 persen.
Dari jumlah tersebut, hampir separuh berada dalam kelompok usia produktif 21–30 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas calon konsumen potensial di sektor perumahan, khususnya generasi muda, berada dalam kondisi finansial yang rapuh dan berisiko tinggi gagal memenuhi syarat pembiayaan rumah dari lembaga keuangan formal.
Ketidaksinambungan Kebijakan dan Urgensi Reformasi Pembiayaan
Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto, dalam beberapa kesempatan juga menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan program perumahan subsidi yang dinilai belum terkoordinasi dengan baik.
Ia menyoroti bahwa langkah pengawasan dari Kementerian PKP terhadap pengembang sering kali dilakukan secara represif, alih-alih bersifat fasilitatif. Tindakan inspeksi yang meningkat terhadap perumahan subsidi dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan yang justru menurunkan semangat pelaku usaha dalam mendukung program pemerintah.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu meninjau ulang pendekatan regulasi dan distribusi anggaran, serta membangun mekanisme pembiayaan alternatif yang lebih inklusif. Di antaranya melalui pengembangan skema pembiayaan berbasis data digital UMKM, kemitraan dengan lembaga keuangan mikro, dan penggunaan teknologi financial technology (fintech) yang sudah akrab dengan masyarakat sektor informal.
Kesimpulan
Program pembangunan tiga juta rumah per tahun merupakan kebijakan strategis dengan dampak jangka panjang yang signifikan terhadap struktur sosial dan ekonomi Indonesia. Namun, untuk memastikan bahwa program ini tidak hanya menjadi simbol politik atau angka statistik semata, diperlukan pendekatan holistik yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada dalam sektor informal.
Baca Juga : Tanah Anda Masih Girik? Segera Tingkatkan Jadi SHM, Ini Caranya