
DPR Kritisi Peta Jalan 3 Juta Rumah yang Dianggap Bikin Sulit Rakyat
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)
menetapkan target ambisius untuk membangun 3 juta unit rumah selama lima tahun mendatang.
Rencana tersebut tertuang dalam peta jalan atau roadmap penyediaan perumahan yang bertujuan mengurangi backlog
perumahan nasional dan meningkatkan akses hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Namun, peta jalan ini mendapat kritik tajam dari kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menilai kebijakan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat dan bahkan dapat menyulitkan rakyat.

DPR Kritisi Peta Jalan 3 Juta Rumah yang Dianggap Bikin Sulit Rakyat
Program pembangunan 3 juta rumah bukan hal baru dalam wacana kebijakan nasional. Pemerintah mengklaim, dengan target ini, angka backlog atau kekurangan kebutuhan rumah yang kini mencapai sekitar 12 juta unit bisa perlahan dikurangi. Sasaran utama program ini adalah masyarakat berpenghasilan rendah, terutama kelompok informal yang selama ini kesulitan mengakses KPR konvensional.
Namun, pertanyaan besar yang mengemuka di DPR adalah: “3 juta rumah itu untuk siapa?” Banyak anggota dewan meragukan bahwa hunian yang dibangun dalam program ini benar-benar akan diakses oleh rakyat kecil. Pasalnya, selama ini program serupa sering kali berakhir dengan rumah yang tidak terjangkau atau malah dimiliki oleh kalangan menengah ke atas.
DPR Menilai Peta Jalan Tidak Realistis
Dalam rapat kerja bersama Kementerian PUPR, Komisi V DPR RI mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap rincian peta jalan yang dianggap tidak realistis, baik dari sisi pembiayaan, teknis pembangunan, hingga kepastian distribusi lahan.
Anggota Komisi V, Misalnya, menyatakan bahwa pemerintah terlalu optimistis terhadap kemampuan pembiayaan melalui skema KPR subsidi, padahal banyak masyarakat tidak memiliki slip gaji atau dokumen formal lain untuk mengakses kredit perumahan.
“Kalau masih pakai pola lama — hanya andalkan bank, minta syarat yang susah — bagaimana rakyat bisa punya rumah? Yang dibantu akhirnya hanya yang sudah punya penghasilan tetap,” ujarnya dalam rapat yang berlangsung di Senayan.
Harga Tanah dan Infrastruktur Jadi Kendala
Salah satu kendala paling nyata dari peta jalan ini adalah soal harga tanah. Di banyak wilayah strategis, harga lahan terus naik, membuat pembangunan rumah bersubsidi menjadi tidak ekonomis. Solusinya, rumah dibangun jauh dari pusat aktivitas warga, yang pada akhirnya justru menambah beban hidup karena akses transportasi yang minim.
DPR mengingatkan bahwa peta jalan ini harus terintegrasi dengan rencana tata ruang, pengembangan infrastruktur transportasi, dan program urbanisasi yang lebih manusiawi.
“Kalau rumahnya murah tapi lokasinya jauh dari mana-mana, masyarakat tetap susah. Rumah jadi tidak layak huni karena aksesnya tidak ada,” tegas salah satu legislator lainnya.
Kritik terhadap Skema Pembiayaan
Skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) juga menjadi sorotan. Meski dianggap membantu, FLPP tidak serta-merta menjangkau semua lapisan masyarakat, terutama kelompok informal seperti pedagang kaki lima, petani, atau buruh harian.
Menurut DPR, pemerintah perlu memperluas skema pembiayaan inklusif, termasuk memperkuat Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) agar mampu menyediakan skema fleksibel tanpa terlalu membebani syarat formalitas.
Selain itu, belum ada kejelasan tentang bagaimana pemerintah akan mengatasi ketimpangan regional. Banyak daerah di luar Jawa yang mengalami backlog perumahan lebih tinggi, namun pembangunan masih terfokus di Pulau Jawa karena alasan kemudahan akses dan logistik.
Peta Jalan Harus Berbasis Data dan Kebutuhan Nyata
DPR juga menyoroti bahwa peta jalan pembangunan 3 juta rumah saat ini belum berbasis pada data mikro yang kuat. Perencanaan dianggap masih bersifat makro dan tidak menyentuh kondisi riil lapangan.
Peta jalan dinilai perlu mencakup:
-
Pemetaan kebutuhan perumahan secara spasial (berdasarkan wilayah dan jumlah penduduk).
-
Potensi lahan yang tersedia dan status kepemilikannya.
-
Rencana integrasi dengan fasilitas umum dan transportasi massal.
-
Ketersediaan utilitas dasar seperti air, listrik, dan sanitasi.
Tanpa data konkret ini, pembangunan rumah dikhawatirkan hanya mengejar angka tanpa mempertimbangkan kualitas hidup penghuninya.
Respon Pemerintah: Komitmen Lanjutkan Program
Menanggapi kritik tersebut, Kementerian PUPR menyatakan terbuka untuk
merevisi dan menyempurnakan peta jalan. Mereka mengakui bahwa masih ada tantangan besar dalam implementasi di lapangan, terutama soal perizinan, pembebasan lahan, dan koordinasi lintas kementerian.
Pemerintah juga berjanji akan mempercepat digitalisasi sistem pengajuan rumah bersubsidi agar lebih transparan dan mempermudah masyarakat mengakses informasi.
“Pemerintah tetap berkomitmen mewujudkan rumah layak huni bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun kami juga mengakui bahwa butuh kolaborasi lebih luas — termasuk DPR dan pemerintah daerah — agar pelaksanaannya tepat sasaran,” ujar juru bicara dari Kementerian PUPR.
Peran Swasta dan Inovasi Alternatif
DPR juga mendorong agar program ini tidak sepenuhnya bergantung pada pemerintah
melainkan melibatkan sektor swasta dalam pola kerja sama publik-swasta (PPP). Inovasi seperti rumah modular, teknologi konstruksi cepat, dan pemanfaatan tanah milik negara bisa menjadi solusi percepatan pembangunan.
Namun, keterlibatan swasta tetap harus diawasi agar tidak mengorbankan aspek sosial.
Pemerintah perlu menetapkan regulasi yang jelas agar swasta tidak hanya mengejar profit, melainkan tetap menjunjung prinsip keadilan sosial.
Penutup: Harapan akan Perumahan yang Lebih Adil
Program 3 juta rumah adalah kebijakan besar yang menyangkut hajat hidup jutaan rakyat Indonesia.
Kritik dari DPR mencerminkan pentingnya pengawasan dan evaluasi berkelanjutan terhadap setiap program pemerintah, terutama yang menyentuh kebutuhan dasar seperti papan.
Ke depan, keberhasilan peta jalan ini bukan hanya dinilai dari berapa banyak rumah
yang dibangun, tetapi sejauh mana rumah-rumah itu benar-benar menjadi milik rakyat kecil dan mampu meningkatkan kualitas hidup mereka.
Jika pemerintah dan DPR bisa bekerja sama dengan serius dan transparan
maka mimpi memiliki rumah bukan lagi sekadar harapan, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan nyata oleh rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri.
Baca juga: Perlindungan WNI Diluar Negeri Kebangkitan Nasional Indonesia