
Penyelesaian Sengketa Pulau Aceh Di Sumut Tupoksi Kemendagri, memberikan penjelasan tegas mengenai posisi kementeriannya dalam polemik sengketa empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Dalam pernyataannya, Supratman menyatakan bahwa permasalahan tersebut sepenuhnya berada dalam ruang lingkup tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), bukan merupakan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Pernyataan itu disampaikan Supratman saat ditemui wartawan seusai menghadiri kegiatan pembukaan pelatihan paralegal yang diadakan bagi kelompok organisasi kemasyarakatan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, pada Sabtu (15/6/2025).
“Iya, masalah itu jelas merupakan tanggung jawab dan tupoksi dari Kementerian Dalam Negeri. Jadi, bukan menjadi ranah kami di Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Supratman menanggapi pertanyaan awak media terkait polemik penetapan empat pulau—yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—ke dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara.
Penyelesaian Sengketa Pulau Aceh Di Sumut
Menanggapi komentar Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, yang menyebut keputusan Menteri Dalam Negeri mengenai status keempat pulau tersebut cacat formil, Supratman menekankan bahwa penyelesaian konflik administratif antarwilayah provinsi merupakan tanggung jawab Kemendagri.
“Kalau soal keabsahan keputusan itu, tentu nanti Pak Menteri Dalam Negeri yang akan memberikan klarifikasi atau melakukan evaluasi. Kami di Kemenkumham tidak memiliki kewenangan dalam urusan tersebut,” ujar Supratman.
Sebagaimana diketahui, Jusuf Kalla sebelumnya menyatakan bahwa Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan pemberian dan pemutakhiran kode wilayah administrasi serta penetapan empat pulau masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara, cacat secara formil. Menurut JK, secara historis dan yuridis, keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Provinsi Aceh.
Pernyataan tersebut disampaikan Jusuf Kalla dalam konferensi pers di kediamannya yang berlokasi di kawasan Brawijaya, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).
Dalam keterangan resminya, ia menyebut bahwa pengaturan administratif terhadap keempat pulau tersebut semestinya mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Penyesuaian terhadap Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara.
Terkait MoU Helsinki
Lebih lanjut, Jusuf Kalla yang juga dikenal sebagai tokoh penting dalam proses perdamaian Aceh, menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tersebut juga menjadi acuan utama dalam penyusunan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada tahun 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
MoU ini merupakan fondasi perdamaian yang mengakhiri konflik bersenjata berkepanjangan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang saat ini dikenal sebagai Provinsi Aceh.
Menurut JK, ketentuan wilayah Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut seharusnya tetap menjadi pijakan dalam penetapan batas administratif, termasuk status keempat pulau yang saat ini menjadi objek sengketa.
“Iya, itu benar bahwa Aceh dan seluruh kabupaten/kotanya dibentuk dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956. Oleh karena itu, MoU Helsinki secara eksplisit menyebutkan rujukan pada undang-undang tersebut,” jelas Jusuf Kalla kepada wartawan.
Dalam kesempatan yang sama, Supratman juga sempat menyinggung bahwa pemerintah pusat tengah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintahan Aceh. Meski demikian, ia belum bersedia memberikan informasi lebih rinci mengenai isi dan arah regulasi baru tersebut.
“Iya, benar bahwa kami sedang menyiapkan RUU terkait Pemerintahan Aceh. Namun untuk substansi dan rincian materi hukum di dalamnya, belum bisa kami sampaikan saat ini karena masih dalam proses harmonisasi antarinstansi,” ungkap Supratman.
Mantan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu juga menegaskan kembali bahwa proses penyusunan RUU tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan kejelasan dan penguatan terhadap kewenangan otonomi khusus yang dimiliki oleh Provinsi Aceh berdasarkan perjanjian damai dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Seruan Penyelesaian Damai dan Konstitusional
Menanggapi eskalasi narasi publik yang berkembang seputar status administratif empat pulau tersebut, sejumlah pihak menyerukan agar perbedaan pandangan antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara diselesaikan melalui mekanisme yang konstitusional dan dialog yang konstruktif.
Pendekatan hukum yang transparan dan sesuai dengan asas keadilan diharapkan dapat mencegah potensi konflik horizontal maupun ketegangan politik di wilayah tersebut.
Pakar hukum tata negara yang juga merupakan akademisi dari Universitas Syiah Kuala, Dr. Hendra Wahyudi, menuturkan bahwa penyelesaian konflik administratif semacam ini harus mengedepankan prinsip legalitas dan tidak semata didasarkan pada kepentingan politis atau persepsi sepihak.
“Semua pihak perlu kembali merujuk pada dasar hukum yang berlaku. Jika ada ketidaksesuaian atau dugaan pelanggaran formil, maka sebaiknya diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi atau forum pengujian lainnya sesuai peraturan perundang-undangan,” ujarnya dalam wawancara terpisah.
Baca Juga : Dua Terdakwa Korupsi Shelter Tsunami Divonis Sesuai Tuntutan
Dengan pernyataan Menteri Hukum dan HAM yang menegaskan bahwa kewenangan terkait penentuan status wilayah administratif berada sepenuhnya di tangan Kementerian Dalam Negeri, maka polemik yang tengah berlangsung diharapkan dapat difokuskan pada jalur penyelesaian yang legal dan terstruktur.
Pemerintah pusat diminta untuk mengambil langkah bijak dalam merespons dinamika yang berkembang agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berujung pada instabilitas di daerah.