Site icon POKOKBERITA TEMPATNYA SEMUA KEJADIAN TERKINI YANG ADA DI INTERNASIONAL

Respons Pakar Tata Hukum Negara soal Pemisahan Pemilu

Respons Pakar Tata Hukum Negara soal Pemisahan Pemilu

Respons Pakar Tata Hukum Negara soal Pemisahan Pemilu

Respons Pakar Tata Hukum Negara soal Pemisahan Pemilu

Wacana pemisahan Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Legislatif kembali mencuat di ruang publik Indonesia.

Sejumlah politisi dan pengamat politik mengusulkan agar pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak lagi diselenggarakan secara serentak seperti yang berlaku sejak Pemilu 2019.

Alasannya berkisar pada efisiensi teknis, konsolidasi partai politik, dan penyederhanaan proses penghitungan suara.

Namun, usulan ini juga menuai beragam tanggapan dari para pakar tata hukum negara. Mereka menilai bahwa pemisahan pemilu harus ditelaah lebih dalam dari sisi konstitusionalitas, sistem pemerintahan, dan implikasinya terhadap stabilitas politik nasional.

Perspektif Konstitusionalitas Pemilu Serentak

Salah satu pakar hukum tata negara, Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, menegaskan bahwa putusan Mahkamah

Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 secara eksplisit menyatakan bahwa pemilu serentak adalah amanat konstitusi dalam upaya memperkuat sistem presidensial. Menurutnya, pemilu serentak memperkecil peluang terjadinya coattail effect yang mendistorsi pilihan pemilih, serta mengurangi potensi disharmoni antara presiden dan parlemen.

Jika pemilu kembali dipisah seperti sebelum 2004, dikhawatirkan akan menciptakan dualisme kekuasaan politik dan memicu instabilitas dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif. Pemilu serentak, menurut Zainal, memberikan legitimasi kuat bagi presiden terpilih karena basis dukungannya sejalan dengan konfigurasi politik parlemen.

Pendapat Ahli tentang Efisiensi dan Kepraktisan

Sebaliknya, sebagian akademisi yang menyoroti sisi teknis pemilu, seperti Dr. Refly Harun, menyatakan bahwa pemisahan pemilu sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi selama tetap menjunjung asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER dan JURDIL). Refly berargumen bahwa pemilu serentak sering kali menimbulkan kompleksitas logistik, tingginya jumlah surat suara, dan kesulitan teknis dalam rekapitulasi.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa perubahan skema pemilu tidak boleh hanya berdasarkan pertimbangan teknis atau politis semata, melainkan harus melalui kajian konstitusional yang mendalam dan dialog publik yang inklusif.

Implikasi terhadap Sistem Presidensial

Prof. Saldi Isra, Hakim Konstitusi, pernah menyampaikan bahwa sistem presidensial akan terdegradasi bila pemilu dipisah

karena dapat memperkuat praktik parliamentary threshold yang membuat presiden tergantung pada partai politik di parlemen.

Hal ini dikhawatirkan bisa merusak independensi presiden dan mendorong politik transaksional.

Menurutnya, pemilu serentak membantu menciptakan pemerintahan yang lebih solid, mempercepat pembentukan kabinet, dan meminimalisir tarik ulur kekuasaan antara presiden dan DPR. Dengan begitu, sistem presidensial dapat berjalan efektif sebagaimana mestinya, tanpa intervensi dominan dari partai pengusung.

Potensi Revisi Undang-Undang Pemilu

Dalam konteks hukum positif, setiap perubahan skema pemilu tentu memerlukan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Hal ini juga berpotensi melibatkan Mahkamah Konstitusi kembali untuk menilai konstitusionalitas usulan pemisahan tersebut.

Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan aspirasi publik serta hasil kajian akademis sebelum mengambil keputusan.

Sebagian pakar juga menyarankan agar pemerintah membentuk tim kajian independen yang melibatkan ahli tata negara, akademisi, penyelenggara pemilu, dan perwakilan masyarakat sipil agar perubahan sistem pemilu benar-benar berbasis kepentingan nasional, bukan kepentingan elektoral jangka pendek.

Penutup: Kepentingan Demokrasi Harus Diutamakan

Pemisahan atau penyatuan pemilu bukan semata persoalan teknis, tetapi berkaitan langsung dengan arah reformasi demokrasi dan sistem pemerintahan Indonesia.

Respons para pakar hukum tata negara menunjukkan perlunya kehati-hatian dan pengkajian mendalam sebelum mengubah desain pemilu.

Prinsip utama yang harus dijaga adalah supremasi konstitusi, efektivitas sistem presidensial, dan penguatan demokrasi substantif yang mencerminkan aspirasi rakyat.

Baca juga: Samsung Galaxy M36 Resmi dengan Exynos 1380 dan Fitur AI

Exit mobile version