
Penolakan China Atas Boeing Dipengaruhi Oleh Rupiah Melemah Pengamat pasar valuta asing yang juga menjabat sebagai Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, mengungkapkan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) disinyalir dipicu oleh kebijakan pemerintah Tiongkok yang menolak menerima pengiriman pesawat Boeing dari AS.
Hal ini merupakan respons atas keputusan Negeri Paman Sam memberlakukan tarif tambahan sebesar 145 persen terhadap produk-produk asal Tiongkok.
“Pemerintah Tiongkok secara resmi telah menginstruksikan maskapai-maskapai penerbangan di negaranya untuk menghentikan penerimaan pengiriman jet Boeing lebih lanjut. Langkah ini diambil sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Amerika Serikat,” ujar Ibrahim dalam pernyataan tertulis yang dirilis dari Jakarta pada Rabu (17/4/2025).
Situasi ini memperburuk ketidakpastian global, di mana para pelaku pasar kesulitan menemukan faktor pendorong yang kuat untuk pemulihan ekonomi dunia. Menurut Ibrahim, kebijakan tarif AS yang diterapkan terhadap sejumlah negara, khususnya terhadap Tiongkok, dikhawatirkan akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global dalam waktu dekat.
Penolakan China Atas Boeing Rupiah Melemah
Ia juga menyoroti bahwa Presiden AS terdahulu, Donald Trump, telah memulai kebijakan tarif yang agresif terhadap barang-barang dari Tiongkok. Hal tersebut mendorong Negeri Tirai Bambu untuk memberikan respons berupa pengenaan tarif balasan terhadap produk impor asal AS, sehingga memicu ketegangan yang dikenal sebagai perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
“Ketegangan dagang ini menciptakan kekhawatiran di pasar global yang pada akhirnya memunculkan prediksi akan potensi resesi di banyak negara, termasuk negara-negara berkembang,” tambahnya.
Sementara itu, dari sisi domestik, perekonomian Indonesia pada kuartal pertama tahun 2025 diperkirakan mengalami perlambatan dengan pertumbuhan di kisaran 4,9 hingga 5 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan capaian pada kuartal keempat tahun 2024 yang tercatat sebesar 5,02 persen.
Beberapa faktor dinilai sebagai tantangan utama dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Di antaranya adalah efektivitas dari reformasi struktural yang telah dicanangkan pemerintah, optimalisasi belanja negara, peningkatan produktivitas sektor riil, dan penguatan fundamental ekonomi domestik yang belum sepenuhnya berjalan optimal.
“Selain itu, efektivitas kebijakan fiskal dan moneter juga menjadi kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi. Ketergantungan terhadap stimulus fiskal yang tidak disertai perbaikan struktural berpotensi membebani anggaran dan menurunkan kredibilitas fiskal jangka panjang,” jelasnya.
Berdasarkan data penutupan perdagangan di pasar spot Jakarta hari ini, nilai tukar rupiah tercatat mengalami pelemahan sebesar 10 poin atau sekitar 0,06 persen, dari posisi sebelumnya di Rp16.827 per dolar AS menjadi Rp16.837 per dolar AS.
Selaras dengan pergerakan di pasar spot, kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis oleh Bank Indonesia pada hari ini juga mengalami depresiasi. Nilai tukar JISDOR melemah dari posisi Rp16.815 per dolar AS pada hari sebelumnya menjadi Rp16.845 per dolar AS.
Dipengaruhi Oleh Rupiah Melemah
Menurut Ibrahim, kondisi ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap dinamika global serta ketidakpastian kebijakan perdagangan internasional yang terus berlanjut. Ia pun mengimbau para pelaku pasar, khususnya investor domestik, untuk tetap berhati-hati dan mencermati perkembangan kebijakan global serta arah kebijakan ekonomi nasional.
“Stabilitas nilai tukar merupakan refleksi dari kepercayaan pasar terhadap kondisi fundamental ekonomi. Oleh karena itu, langkah konsisten dari otoritas moneter dan fiskal dalam menjaga keseimbangan makroekonomi menjadi sangat penting untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dalam jangka menengah dan panjang,” tutupnya.
Dengan dinamika yang terjadi saat ini, pasar keuangan nasional diharapkan terus mengedepankan prinsip kehati-hatian dan kewaspadaan. Pemerintah dan otoritas keuangan pun perlu memperkuat koordinasi kebijakan demi menjaga stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor, baik dari dalam maupun luar negeri.