
Ketua Komisi II DPR Usul Pemilu dan Pilkada Digelar Beda Tahun
Isu seputar penyelenggaraan pesta demokrasi kembali menjadi perhatian publik setelah Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu dan Pilkada tidak lagi digelar di tahun yang sama. Usulan ini disampaikan sebagai respons terhadap evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 yang dinilai sangat kompleks, melelahkan bagi penyelenggara, dan berisiko terhadap kualitas demokrasi.
Dalam artikel ini, akan dibahas latar belakang usulan tersebut, alasan dan pertimbangan dari Komisi II DPR, tanggapan pemerintah dan KPU, serta potensi dampak terhadap sistem demokrasi di Indonesia ke depan.

Latar Belakang Usulan: Evaluasi Pemilu Serentak 2024
Pemilu 2024 yang digelar pada tanggal 14 Februari dan akan dilanjutkan dengan Pilkada Serentak pada 27 November 2024 dianggap sebagai tantangan besar bagi sistem pemilu nasional. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, lima pemilihan (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) digelar serentak dalam satu hari, dan akan disusul Pilkada di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di tahun yang sama.
Evaluasi dari berbagai pihak menunjukkan bahwa:
-
Penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, KPPS) mengalami kelelahan fisik dan mental.
-
Logistik dan distribusi surat suara sangat kompleks dan berisiko keterlambatan.
-
Tumpang tindih kampanye nasional dan lokal menyulitkan edukasi pemilih.
-
Kualitas hasil pengawasan dan penghitungan suara berpotensi menurun.
Ahmad Doli menyebut bahwa kondisi ini tidak ideal untuk keberlangsungan demokrasi yang sehat dan perlu dikaji ulang agar penyelenggaraan pemilu tetap efisien namun tidak mengorbankan kualitas.
Isi Usulan: Pemilu Nasional dan Pilkada Dipisah
Dalam rapat kerja Komisi II bersama KPU, Bawaslu, dan Kemendagri, Ahmad Doli menyatakan bahwa pemisahan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi beban teknis dan administratif.
Isi utama usulan tersebut adalah:
-
Pemilu legislatif dan pemilihan presiden tetap digelar serentak setiap 5 tahun.
-
Pilkada (gubernur, bupati, wali kota) digelar dua atau tiga tahun setelahnya.
-
Masa jabatan kepala daerah diatur ulang agar tetap sinkron dengan sistem pemerintahan pusat.
Menurutnya, format ini lebih logis dan memberi ruang waktu bagi penyelenggara, peserta, dan pemilih untuk fokus dalam setiap tahapan pemilu.
Alasan Utama: Efisiensi, Kualitas, dan Stabilitas
CERDAS4D Terdapat tiga alasan pokok di balik usulan Ketua Komisi II DPR ini:
1. Efisiensi Teknis dan Anggaran
Pemisahan waktu pemilu dan pilkada diyakini akan mengurangi beban kerja yang masif. Tidak hanya pada hari pemungutan suara, tapi juga pada seluruh tahapan seperti verifikasi calon, distribusi logistik, pelatihan petugas, dan pengawasan.
2. Kualitas Demokrasi
Dengan pemisahan waktu, diharapkan masyarakat dapat lebih memahami visi dan program masing-masing calon, baik nasional maupun daerah, tanpa tumpang tindih informasi yang bisa membingungkan pemilih.
3. Stabilitas Politik
Kampanye politik yang terlalu panjang dan berlapis-lapis dalam satu tahun dikhawatirkan menimbulkan gesekan sosial. Pemisahan jadwal diharapkan dapat meredam polarisasi politik yang berlarut-larut.
Baca juga:Jumlah Gugatan atas Revisi UU TNI di MK Naik Jadi 8 Kasus
Tanggapan KPU dan Bawaslu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyambut baik diskusi ini, meski menyatakan bahwa perubahan jadwal pemilu dan pilkada perlu kajian mendalam dan dasar hukum yang kuat.
Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa pemilu serentak 2024 memang menimbulkan tantangan yang sangat berat bagi penyelenggara. Ia menyarankan agar perubahan seperti ini dilakukan setelah Pemilu 2024 selesai sepenuhnya dan berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh.
Bawaslu juga mendukung adanya pemisahan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan dan mengurangi tekanan pada jajaran pengawas di lapangan.
Tantangan Regulasi dan Penyesuaian Masa Jabatan
Salah satu kendala utama dalam realisasi usulan ini adalah aspek regulasi. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada harus diubah jika ingin mengatur jadwal pemilihan berbeda tahun.
Penyesuaian juga harus dilakukan terhadap masa jabatan kepala daerah agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan. Ini bisa memicu penunjukan penjabat (Pj) yang berkepanjangan dan berisiko terhadap netralitas birokrasi.
Pro dan Kontra dari Kalangan Akademisi dan LSM
Beberapa akademisi politik mendukung usulan ini sebagai upaya memperbaiki sistem demokrasi elektoral yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Menurut pakar tata negara dari UGM, Prof. Zainal Arifin Mochtar, sistem serentak total memang memberatkan dan menyulitkan akuntabilitas pemilu.
Namun, sebagian lainnya menilai bahwa usulan ini bisa menjadi manuver politik untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah tertentu atau mempermudah konsolidasi kekuasaan partai besar.
LSM seperti Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) menyarankan agar pemisahan jadwal dilakukan dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik dalam proses pembuatannya.
Potensi Dampak Positif Jika Diterapkan
Jika pemilu dan pilkada digelar berbeda tahun mulai 2029 atau 2034, maka beberapa dampak positif yang diharapkan antara lain:
-
Peningkatan kualitas pemilih dalam memahami isu nasional dan lokal secara terpisah.
-
Fokus kampanye yang lebih terarah dan tidak saling berbenturan.
-
Beban kerja penyelenggara yang lebih proporsional.
-
Penurunan jumlah petugas pemilu yang kelelahan dan gugur seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 dan 2024.
Catatan Penting: Jangan Lupakan Konsistensi Demokrasi
Meski pemisahan jadwal terlihat menarik secara teknis dan logistik, publik harus tetap waspada agar perubahan ini tidak justru melemahkan prinsip-prinsip demokrasi.
Beberapa catatan yang harus dikawal bersama:
-
Jangan sampai pemisahan ini digunakan untuk memperpanjang kekuasaan pejabat tanpa pemilu.
-
Harus ada kepastian hukum dan aturan transisi yang transparan.
-
Edukasi publik tetap menjadi prioritas agar masyarakat tidak bingung dengan perubahan sistem.
Kesimpulan: Usulan Perlu Kajian, Bukan Penolakan
Usulan Ketua Komisi II DPR RI agar pemilu dan pilkada digelar di tahun berbeda patut dipertimbangkan secara serius. Tujuannya adalah membangun sistem pemilu yang efisien, aman, dan berdaya saing tinggi dalam menghadapi tantangan zaman. Namun, semua itu harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan berbasis evaluasi nyata, bukan hanya kepentingan politik jangka pendek.
Pemilu adalah jantung demokrasi. Segala perubahan terhadapnya harus dikelola dengan bijak, agar tidak justru memperlemah partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya.